
JAKARTA – 28 September 2022, BULD (Badan Urusan Legislasi Daerah) DPD RI mengadakan rapat dengar pendapat dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dan Direktur Jenderal (EBTKE) Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Dalam rapat ini, ada dua hal penting yang menjadi sorotan, yakni penataan regulasi dan pengoptimalan peran serta wewenang seluruh stakeholder atau segala pemangku kepentingan terkait.
Dalam penyampaian materinya, Direktorat Jenderal EBTKE menyampaikan bahwa diperlukan regulasi yang komprehensif dalam penciptaan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan. Dalam penjabaran ini, Direktorat EBTKE menjelaskan terkait regulasi sektor ESDM dan regulasi sektor lain yang terikat dengan pengelolaan sumber daya alam.

Anggota Komite II DPD RI, Anna Latuconsina, menyampaikan bahwa terkait regulasi, ada beberapa poin penting yang dicatat dari rapat dengar pendapat, yakni: penataan regulasi atas berbagai peraturan UU di tingkat pusat terkait dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara; sinkronisasi antar-regulasi dan koordinasi antar-kementerian; pengintegrasian konsep wilayah hukum pertambangan; dan sosialisasi regulasi sektor ESDM oleh Kementerian ESDM dan BULD DPD RI.
Selain penataan regulasi, rapat dengar pendapat juga menyoroti pengoptimalan seluruh pihak yang berkaitan dengan ESDM. “Perlu ada pengoptimalan peran dan kewenangan pemerintah daerah, khusunya adalah Dinas ESDM di provinsi. Supaya, kita dapat mengukur fungsi pembinaan dan pengawasan kepada daerah,” ujar Anna Latuconsina. Tidak hanya itu, di dalam simpulan rapat BULD juga mencatat bahwa pembinaan kepada pemerintah daerah melalui peningkatan kapasistas SDM di bidang ESDM juga perlu dilakukan, tentu dengan koordinasi bersama Kementerian Dalam Negeri.

Sementara itu, persoalan perizinan juga mendapat perhatian dalam rapat kali ini. Dirjen Mineral dan Batubara dalam penjelasannya dalam rapat menyoal terkait penyederhanaan perizinan. Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Tri Winarno, dalam rapat menyampaikan bahwa penggabungan IUP (izin usaha pertambangan) tahap eksplorasi dan operasi produksi dijalankan dengan ketentuan: masa berlaku tidap tahapan kegiatan diberikan dengan rincian waktu yang jelas; dan kegiatan produksi hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi kewajiban teknis dan lingkungan.
Anna juga mengatakan bahwa poin ini menjadi catatan BULD, bahwa penataan atas berbagai perizinan usaha pertambangan dan usaha di sektor lain perlu dilakukan. “Tujuannya agar tidak terjadinya tumpang tindih dengan izin antar-sektor dan tanah ulayat, juga untuk meminimalisir konflik dengan masyarakat lokal,” tutur Anna. Poin lain yang turut menjadi sorotan adalah dukungan atas inisiatif pembentukan Rancangan Peraturan Presiden tentang tambahan kewenangan pemerintah daerah di bidang EBTKE. [Fara]
